U! Prolog.
Senja itu langit tampak kelabu, hujan turun
rintik-rintik membasahi tiap sentimeter tanah di sekitarnya.
Orang-orang berpakaian hitam mengelilingi peti
cokelat muda berpelitur indah. Wajah mereka tampak sedih. Banyak di antara
mereka meneteskan air mata. Bahkan ada yang menangis tersedu-sedu.
“Semua yang berasal dari Dia...akan kembali kepada
Dia...,” ujar seorang ustad penuh hikmat. Orang-orang itu mengangguk sedih.
Tiba-tiba...
Seorang anak berusia empat tahun berlari-lari
kecil menyeruak kerumunan orang. Dengan cuek dia mencolek-colek orang-orang
yang sedang bersedih itu.
“Eh... eh... Kok semuanya pada nangis sih? Hujan
nih...”
Seorang ibu tersenyum, lalu mengelus kepala anak
kecil itu. Kalau tega sih, sebenarnya anak itu pantas dicubit karena mengganggu
khotbah ustad.. Tapi..
“Pa..Papa.. Mama mana?” Ujar anak itu lagi sambil
berlari menghampiri papanya, menarik-narik ujung baju hitam pria itu tak
sabaran.
Laki-laki yang dipanggil “Papa” itu bernama
Marcello. Ia memaksakan diri tersenyum pada gadis kecil disampingnya. Ia
mengulurkan kedua tangannya, mengizinkan si anak naik dalam gendongannya.
“Ify sayang... Mama... Mama pergi ke surga!” Ujar
Papa Ify terbata-bata. Wanita di sebelah lelaki itu menitikkan air mata
mendengarnya.
Gadis kecil itu menatap ayahnya bingung. Kedua
bola mata jernihnya membuat memandang papanya.
“Surga itu dimana, Pa? Jauh, gak?”
Lelaki itu menghela napas, menahan perasaan sedih
dan harunya. “Jauh, Sayang!”
“Jauh mana sama rumah Eyang?” Tanya gadis kecil
itu lagi. Kebetulang eyangnya memang tinggal di Belanda.
“Lebih jauh lagi...”
Anak itu menghela napas kecewa. “Yaaaah...kalau
gitu... Ify gak bisa ketemu Mama lagi dooong! Ketemu Eyang aja Ify gak pernah
karena rumah Eyang jauh...”
Papa Ify merasa sebutir air matanya menetes.
“Mama jahat! Mama jahat! Ify sebel sama Mama...
Huaaa...”
Ify mulai menangis meraung-raung. Semua orang di
situ memandang dengan prihatin. Dada mereka sesak. Sang Ayah berusaha
menenangkan putrinya.
“Ify... Jangan nangis dong, Sayang!” Papa Ify
mengusap air mata yang mengalir deras di wajah mungil anaknya. “Bisa kok...
Suatu hari nanti kamu bisa ketemu Mama lagi, Sayang!”
Anak itu menengadah, memandang ayahnya penuh
harap. “Bener, Pa?”
“I... iya, Sayang!”
Ify tersenyum. Wajahnya langsung berbinar-binar.
“Nanti kita ke surga naik pesawat ya, Pa... Ify gak takut ketinggian kok!”
Ujarnya dengan yakin sambil menepuk dada.
Papa Ify menangis terharu, ia memeluk anaknya
erat-erat. Orang-orang yang ada disitu hanya bisa menatap iba.
Ify tersenyum senang. Ia memain-mainkan telinga
papanya, lalu mulai mengantuk dan tertidur dalam gendongan papanya.
***
Sebulan kemudian...
“PAPAAA...” Ify berlari menyambut ayahnya yang
baru saja pulang kantor. Ia membawa celengan berbentuk rumah-rumahan di tangan
kanan dan sekantong plastik uang di tangan kirinya.
“Pa.. Papa... Kita ke bank yuk... Ini Ify udah
bongkar celengan... Ify mau nabung di bank!” Ujar Ify sambil menarik-narik
tangan papanya.
“Papa baru pulang, Sayang. Tunggu sebentar ya,
papa istirahat dulu.”
Ify cemberut. “Gak mau! Nanti keburu kurang...”
Papa Ify bengong. “Hah, apanya yang kurang?”
“Bonusnya,” ujar Ify yakin.
Papa Ify makin mengerutkan dahi.
“Begini loh, Pa..” Ujar Ify sambil naik ke
pangkuan ayahnya. “Tadi Bu Guru bilang, kalau kita mau cepat kaya, kita harus
rajin menabung. Trus, supaya aman nabungnya harus di bank. Apalagi kata Bu
Guru, bank itu baik, ngasih bonus uang tambahan buat kita, jadi uang Ify bisa
nambah banyak. Trus, bank juga suka bikin undian, katanya kalau menang Ify bisa
kaya raya.”
Papa Ify tersenyum mendengar celoteh anaknya. Ia
mengambil kantong plastik berisi uang di tangan Ify. “Oooh gitu... Jadi semua
uang Ify mau dimasukin ke bank?”
“Iya!” Ify mengangguk senang. “Tenang aja, Pa,
uangnya udah Ify namain kok tadi...”
Papa Ify kontan bengong. “Dinamain?”
“He-eh!” Angguknya cepat. “Habis Ify takut
mbak-mbak penjaganya pikun... Ntar dia lupa, lagi, uang Ify yang mana...”
Papa Ify langsung tertawa terbahak-bahak mendengar
kepolosan Ify. Ify hanya bengong.
“Kok Papa ketawa sih?”
Papa Ify mati-matian menahan tawa. Ify melototi
papanya.
“Emmppt... Gak... Gak pa-pa! Oh ya, Ify memangnya
mau jadi orang kaya, ya? Memangnya mau beli apa?”
Ify langsung tersipu malu mendengar kata-kata
ayahnya.
“Ify mau beli pesawat!”
Hah! Ayah Ify bengong. Jarang-jarang ada anak
kecil punya cita-cita beli pesawat. Biasanya, anak kecil itu kalau ditanya mau
beli apa, pasti bilangnya mau beli es krim, coklat, permen, boneka, tas, jepit
rambut, buku cerita, dan lain-lain... Tapi kalau pesawat?
“Pesawat?” Tanya papa Ify, mengulang kata-kata
anaknya. Siapa tahu ia salah dengar.
“Iya!” Jawab Ify yakin. “Kata Papa kan surga itu
jauh, makanya Ify mau nabung, biar uang Ify banyak, trus bisa beli pesawat...
Ify bisa ketemu Mama deh...” Ujar Ify dengan mata berbinar-binar.
Ayah Ify langsung terduduk lemas di kursinya. Ia
menatap Ify dengan sangat sedih.
----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar