Minggu, 11 Maret 2012

U! *CopasNovel -Bab 1


--- 

Bab 1: Menunggu itu bete abis! 


Dua belas tahun kemudian... 

“Permisi... Hhhh... Saya mau ketemu... Hhhh... Sama Papa... eeh, sa... lah... hhh... maksudnya sama... Pak Marcello...” ucapku terengah-engah. Begini nih akibatnya kalau nekat lewat tangga dan lari maraton ke lantai delapan, kantor tempat papa bekerja. 

cewek cantik dibalik meja itu mengangkat jari telunjuknya didepan bibir, isyarat agar aku gak berisik. 

“Maaf, Pak Marcello sedang rapat. Silahkan menunggu dulu di kursi yang sudah disediakan!” Ucap sekretaris kantor Papa dengan bahasa EYD yang pantas diberi nilai sembilan. Maklumlah, dia kan secretary to director, jadi harus menunjukkan citra baik. Apalagi gak cuma aku yang ada di ruangan itu, ada sekitar enam orang yang sedang duduk manis di situ. 

Aku menghela napas kecewa. Padahal aku sudah bela-belain naik bajaj secepat-cepatnya ke kantor Papa, gak makan siang di kantin, menolak tawaran Sivia untuk jalan-jalan ke pasar festival, bahkan sampai rela lewat tangga gara-gara gak sabar nunggu antrean lift lantai dasar. Apes banget deh aku hari ini! 

Oh ya, kenalkan, namaku Alyssa Saufika Umari. Tapi cukup panggil Ify saja. Sekarang duduk di kelas 2 SMA di sekolah khusu cewek. Coba bayangkan, betapa nelangsanya cewek-cewek SMA yang dikumpulkan di satu tempat tanpa satupun kaum adam? Ada sih cowoknya, tapi itu Pak Joni, guru kesenian yang sudah tua, tukang bersih-bersih sekolah yang gak kalah tua, dan tukang kebun sekolah yang sudah almarhum. 

Aku mengempaskan pantatku pada salah satu bangku didepan ruang rapat dengan sebal. Kuletakkan tasku di bangku sebelahnya dan mulai sibuk merogoh+rogoh tas, mencari HP. Saat menunggu begini, mending aku SMS gabriel, gebetanku yang kece banget itu. 

Oh ya, supaya kalian juga tahu... Gabriel itu murid di sekolah swasta kelas 3 SMA. Aku ketemu dia waktu ada perlombaan basket three on three di sekolahnya. Kalau diingat-ingat lagi jadi lucu... Waktu itu Acha, Nova, dan Keke ngotot ingin ikut lomba basket dan aku termasuk gerombolan cewek yang datang sebagai suporter. Padahal lomba basket itu khusus cowok. Hehehe... Kita sampai diomel-omelin panitianya waktu itu. Tapi kayak kata pepatah, sengsara membawa nikmat. Setelah diceramahin panitianya, kami tetap nekat duduk di situ, memberikan support buat cowok-cowok yang bertanding... daaan... aku bertemu Gabriel yang kebetulan tetangga sahabatku, Sivia. 

“Kamu mau minum apa, Ify? Tante bikinin deh!” Hah! Suara merdu itu sukses membuyarkan lamunanku. Aku mendongak. Tahu-tahu sekretaris "EYD" itu sudah ada dihadapanku. Dia tersenyum manis. Hmm... Kayaknya dia berusaha mengambil hatiku lagi hari ini. Hebat! Aku salut melihat kenekatannya. 

Aku mendelik jail. “Oooh... Gak usah repot-repot. Milkshake stroberi aja... pake satu scoop es krim di atasnya,” ucapku asal. Hehehe... Rasain! Biar tahu rasa dia. 

Seperti harapanku, sekretaris itu tampak kebingungan. “Yah, gak ada milkshake tuh, Fy... teh manis aja, ya?” Tanyanya sopan. Tapi mungkin dalam hantinya dia sedang menyumpah-nyumpahi aku. Hehehe... Biarin! Siapa suruh sok akrab?! 

Aku menggeleng. “Kalau gak ada... ya gak usah!” Balasku cuek lalu kembali melanjutkan pencarian HP dalam tas. 

“Duh, jangan ngambek dong! Ya udah, Tante pesenin yah! Tapi kamu mesti sabar nunggunya, oke?” Ujarnya ramah lalu berbalik dan berjalan mendekati telepon. 

Oh ya, nama sekretaris kantor Papa itu Lidia. Dia cantik dan anggun. Gaya bicaranya sopan dan bersahaja. Langkahnya luwes dan penuh percaya diri. Senyumannya manis dan menunjukkan tipikal gadis baik. Pokoknya, bila menggunakan skala ukur 1-10, dia pantas dapat nilai 10. Alias perfect abis!!! 

Tapi aku gak suka Lidia. Bukan karena sirik. Bukan juga karena aku gak bisa seperti dia. Tapi aku sama sekali gak suka. Papa milikku. Hanya milikku. Gak akan kuserahkan pada siapa pun. Asal kalian tahu, Papa orang nomor satu dalam hidupku. Waktu aku masih kecil, aku yakin sekali bila sudah dewasa nanti aku akan menikah dengan Papa, menggantikan Mama. Seiring berjalannya waktu baru aku tahu itu gak mungkin. Selain itu aku sada gabriel jauh lebih menarik daripada Papa. 

Sepeninggal Lidia, aku kembali menginvestigasi tasku. “Duhh! Mana sih?” Ucapku gak sabaran karena gak sabaran karena gak juga berhasil menemukan benda elektronik itu dalam tas. Ini akibatnya kalau isi tas penuh banget. 

Benda pertama yang ku keluarkan adalah kaus olahraga. Dalam sekejap aku langsung merasakan pandangan sinis dari orang-orang disekelilingku. 

“Hehehe... Maaf, Bu, Pak!” Ujarku sambil cengengesan. Yah, aku ngerti arti pandangan mereka. Tadi ada pelajaran olahraga dan kami bermain sepak bola. Karena disekolahku semuanya cewek, otomatis semua pemainnya cewek deh. Tapi gak masalah, justru permainan kita jauh lebih seru daripada pertandingan bola di teve. Malah seru banget! Tadi saja aku dan Sivia sempat berguling-guling ditengah lapangan karena rebutan bola. (Hehehe... Maklum! Cewek-cewek suka lupa bola mesti diperebutkan menggunakan kaki dan bukan tangan.) Jadi sudah dapat dipastikan kaus olahragaku itu bercampur debu dan tanah pekat. Belum lagi bau keringatku yang menempel dengan sempurna di sana. Dalam hitungan detik, seisi ruangan ber-AC ini sudah dapat menghirup baunya. 

Mereka semua tersenyum kecut kearahku. Sudah pasti senyuman itu sangat dipaksakan. Tapi ada satu orang yang gak tersenyum, cowok berdasi di hadapanku. Dia hanya menatapku tajam dari balik lensa kacamatanya. Aaah... Bodo amat!!! 

Aku mulai menegluarkan benda kedua. Bantal bergambar boneka panda. Orang-orang disekitarku langsung menatapku takjub. Bantal? Ada bantal dalam tas? Ni anak mau sekolah atau piknik di Cibubur? Begitu mungkin pikir mereka. Hehehe... Habis pelajaran bu Milly (ini sebutan kerennya, padahal sih nama aslinya Minah Linarti) benar-benar mengundang kantuk. Geografi gitu looh! Apalagi sehabis pelajaran olahraga yang super melelahkan itu. Karena itu aku bawa bantal, biar bisa tidur nyenyak. 

INDONESIA RAYA... MERDEKA MERDEKA... HIDUPLAH INDONESIA RAYA... 

Tiba-tiba terdengar suara menggelegar dari tasku. Lagi-lagi orang-orang disekitarku menengok. (Apa kepala mereka gak sakit nengok-nengok melulu? Dasar orang-orang kurang kerjaaan!) 

“Nah, itu dia bunyinya!” Ujarku penuh semangat. 

“Tapi dimana yah?” Aku kembali mengaduk-aduk isi tas dan...akhirnya...aku berhasil menemukan HP-ku dalam...ehmm..kotak bekal makanan. He? Kok bisa ada dalam sini ya? Hehehe... Bodo aah! Paling-paling Sivia yang iseng menaruhnya di sini... atau mungkin...yah, aku sendiri! 

Aku membaca nama yang muncul di HP-ku lalu buru-buru menekan tombol YES. Aku sempat melihat seorang ibu menggeleng-geleng, munkin sambil memanjatkan doa semoga anaknya gak seperti aku. 

“Halo, Vi..” 

“Lo di mana, Fy?” Ujar Sivia di seberang telepon. 

“Di kantor Bokap!” 

“Yah, nyesel deh lo! Tau gak, disini gue ketemu siapa?” 

“Siapa?” 

“Huruf pertama G... Huruf terakhir L... Ayo, tebak!!!” 

“HAH? GABRIELLL? ADA GABRIEL DISITU? HUAAA...” 

Sekretaris itu didukung enam orang lainnya menaruh jari telunjuk mereka didepan bibir. Dalam satu ketukan yang kompak banget... SSSTTT!!! 

Aku meringis. “Maaf!” 

Cowok berkacamata di hadapanku kembali memandangku dengan sebal. Aahh... Biarin aja! Sekarang aku punya urusan yang lebih mendesak: Gabriel. 

“Trus..trus.. Gimana, Vi? Duh, sial banget gue!” 

“Huehehe... Nyesel, kan? Makanya... Tadi gue suruh ikut, lo gak mau... Tau gak, si Gabriel lagi audisi band. Sumpah, keren bangeeet!!! Dia keliatan kayak Maxim waktu tangannya menari-nari di tuts keyboard...eh, Fy...bandnya udah mulai. Berisik banget nih, udah dulu yah, ntar gue fotoin deh si Iel buat elo. Daah alyssa...” 

Aku menekan tombol NO sambil menghela napas berat. Oke, kemungkinan untuk meng-SMS Iel buyar sudah. Dia lagi nge-band, pasti gak bakal sempat melihat HP. Lagi santai saja Iel jarang bales SMS, apalagi sibuk begitu. 

*** 

Satu jam berlalu... 

Ruangan yang tadinya penuh orang sekarang sudah sepi. Gelas milkshake kosong teronggok di sampingku. Majalah seventeen yang kupegang sudah lecek karena kubolak-balik berkali-kali. Sekretaris papa menghilang entah kemana. 

Aku mulai kehilangan kesabaran. Aku mendengus kesal, mengentak-entakkan kakiku dengan jengkel, bahkan tega menggulung rambut rebonding-ku sesuka hati. Gak peduli sama aturan Mas Raymon bahwa rambut yang di-bonding gak boleh diikat, dijepit, dicepol, dan usaha-usaha lainnya yang meninggalkan bekas. 

Aku melirik pintu cokelat kemerahan itu, berharap pintu yang bberat itu terbuka dan langsung memuntahkan Papa dari dalamnya supaya aku bisa cepat-cepat mengajaknya ke restoran seafood di sebelah gedung ini. Aku ingin becerita banyak hal pada Papa, terlebih lagi aku harus menceritakan nilai ulanganku hari ini. Matematika dapat 100, boo!! Papa pasti bangga luar biasa. Berdasarkan pengalaman sejak SD, bila aku dapat nilai bagus, aku sudah menyiapkan permintaan itu sejak disekolah tadi. 

Aku memencet nomor HP Papa untuk entah keberapa kali. Lagi-lagi dijawab operator. Ini dia nih yang paling bikin bete. Papa sering gak mengaktifkan HP kalau lagi rapat. Buat apa punya HP cuma buat dimatiin? 

SEBEL! SEBEL! SEBEL! Pokoknya sebel pangkat tiga sama Papa! Aku paling benci disuruh menunggu begini. 

Aku mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling dan kembali beradu pandang dengan cowok ber-kacamata yang kini sedang berdiri di salah satu ruangan. Dia menatapku lurus-lurus dari balik keacamatanya. Sumpah! Matanya sinis banget. Kenapa sih orang dewasa gak bisa memandang remaja dengan pandangan yang lebih hormat? 

Tiba-tiba HP-ku berbunyi lagi. SMS dari Sivia. 

From: Sivia 

Fy, gue baru inget! Lo jgn lupa minta izin ke bokap klo lo month dtg ke ultah gue lusa!! Gak ada maaf klo gak dateng!! Dan gak tanggung jawab klo gabriel sampai diembat cewek2 yg dateng!! Hehe... 

Ini dia! Tujuanku datang ke sini juga karena mau mengambil hati Papa. Dengan berbekal nilai ulangan Matematika yang dapat 100, aku akan minta izin Papa agar boleh datang ke acara ultah Sivia. 

Maklum, berhubung aku anak semata wayang, Papa jadi kelewat protektif. Pulang jam sepuluh malam sama saja minta dicuekin sama Papa seharian. Naah, pas ultahnya hari sabtu besok itu, Sivia bakal ngadain “MIDNIGHT BIRTHDAY PARTY”. Artinya acara tiup lilin baru dilaksanakan tepat jam dua belas malam. Dan arti yang lebih, dalam lagi, paling cepat aku baru pulang ke rumah jam dua malam... Daaan...arti yang paling berbahaya, aku bisa dicuekin Papa sebulan penuh. 

Jadi, untuk antisipasi, aku harus minta izin Papa sambil memikat hatinya... Kalau acara ulang tahun orang lain, aku gak bakal ngotot datang. Tapi ini beda, ini acara sweet seventeen-nya Sivia. Sivia itu sahabatku, aku gak boleh gak datang. Dan satu alasan lagi: Sivia mengundang Iel dan Iel sudah bersedia datang. Karena itu, hujan badai pun akan aku lalui, asal bisa ketemu Iel di pesta itu. 

*** 

Satu setengah jam berlalu... 

Kakiku sudah kesemutan, punggungku sakit kayak orang rematik, dan perutku keroncongan. Rasanya aku ingin mendobrak pintu kecoklatan itu sambil berteriak, “PAPAAA... LAPEEER BANGEEET NIIIHH!!!” 

Mukaku sudah benar-benar berlipat-lipat. Aku mengentak-entakkan kakiku dengan keras. Cowok berkacamata tadi sudah kembali duduk di hadapanku. Dia melirikku jengkel. Aku melototinya. Apa lihat-lihat? Gak tahu orang lagi bete apa? 

Tapi tanpa kusangka-sangka dia berkalan dihadapanku dan berkata, ”Daripada lantainya rusak, mending kamu duduk diam dan baca ini!” Ujarnya datar sambil menyodorkan sebuah buku untukku. 

Aku menerima buku yang disodorkannya. Covernya merah. Judulnya: CARA-CARA AGAR PERNIKAHAN ANDA BAHAGIA. 

Aku melongo. Ni orang udah gila, kali. Memangnya aku mau married? Pacaran aja belum pernah. 

*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar