----
Bab 4: Memory About You.
PERLU waktu sekitar 3 detik buat gue untuk
melambaikan tangan setelah melongo melihat cewek SMA itu menarik-narik Papanya
masuk lift. Gila! Masih ada ya orang ajaib kayak gitu. Siapa namanya tadi? Oh
ya, Ify.
Hei!!! Ini kayak bukan gue aja! Biasanya gue butuh
diingetin berapa kali nama cewek yang kenalan sama gue. Soalnya banyak banget,
man! Tapi kenapa gue langsung ingat nama cewek satu ini? Hmm..gak salah-salah
amat sih! Siapa sih yang gak ingat sama cewek nyentrik kayak begitu?
Gue melirik cewek berpakaian matching yang berdiri
gak jauh dari gue. Sekretaris kantor ini. Dia menghela nafas superdongkol.
Hahaha...jadi pengin ketawa! Pasti dia sebel banget melihat tingkah si Ify.
Kalau gue gak ada, mungkin kursi-kursi disini sudah dilempar-lemparin sama dia.
Kayak kata temen gue si Ozy, “Jangan remehkan the
power of angry woman! Mereka bisa memorak-porandakan dunia!” Itu benar banget!
Waktu gue masih kuliah, pernah ada cewek yang...ehm...naksir gue, trus dia
nekat nembak gue. Meski tuh cewek lumayan cantik dan body-nya keren, tetap aja
gue alergi lihat cewek agresif banget kayak gitu. Dan berakhirlah kejadian itu
dengan kata-kata penolakan dari bibir gue dan berbalas tamparan nyaring di pipi
gue (sadis banget tu cewek!). Masalah gak selesai sampai disitu. Cewek tadi
dengan kejamnya malah menyebarkan gosip gue gay. BAYANGIN?! MINTA DIGAMPAR
BANGET, KAN?!
Dan gue harus ngerasain hari-hari paling
menyebalkan sejagat raya sejak gosip murahan itu tersebar. Saat gue masuk ke
kantin, ada beberapa cowok yang takut dekat-dekat gue. Mereka malah sampai
pindah meja gara-gara takut duduk dekat gue. Sialan! Walaupun gay beneran, gue
pasti pilih-pilih! Gak asal tangkap orang kayak mereka.
Lebih parahnya lagi, sekumpulan cewek menjerit
histeris mendengar kabar “fitnahan” itu, malah satu di antaranya pingsan dengan
sukses. (Kok dia yang pingsan? Seharusnya kan gue! Aneh!)
Dengan dua kejadian di atas, gak bisa dipungkiti
lagi satu-satunya hal yang sangat gue idam-idamkan saat itu adalah mematahkan
tulang-tulang cewek sialan itu. Tapi sebagai cowok gentle dan sangat menghargai
cewek, gue hanya bisa mengatupkan bibir rapat-rapat dan menahan diri. Kalau
gak, tu cewek pasti udah terkapar di ruang ICU.
Untung yang namanya gosip pasti reda dengan
sendirinya. Yaaah, ternyata masih banyak manusia normal yang percaya gue memang
cowok tulen. Salah satunya Dea, cewek cantik blasteran Batak-India itu. Apalagi
setelah itu gue pacaran dengan Dea. Lenyap ditelan bumi deh tuh gosip.
Hmm... Dea?! Gue jadi inget lagi sama dia. Apa kabar
dia sekarang? Hhhh...mungkin sekarang Dea tertawa senang melihat gue mikirin
dia kayak gini. Yah, tertawa senang dari atas sana.
Hhhh...gue jadi teringat lagi saat terakhir kali
gue ketemu Dea...
“Denger dulu, De...Aku...”
PLAK!!! Sebelum gue menyelesaikan kata kelima Dea
telah terlebih dahulu menampar gue. MY GOD! Dongkol banget gue! Kenapa sih
cewek suka ngegampar cowok?
Yang paling bikin jengkel, kenapa dia gak mau
dengar penjelasan gue dulu?
“Gak perlu banyak ngomong, Yo... Foto ini buktinya!”
Seloroh Dea dengan pandangan sedingin es. Dia jelas sgak mau tahu kata-kata gue
selanjutnya. Apalagi di tangannya ada tiga lembar foto penyebaran masalah itu.
Dan...seperti adegan-adegan dramatis di sinetron
yang dibuat slow motion, Dea melemparkan foto itu ke muka gue, lalu membalikkan
badan dan pergi. Gue hanya bisa memandangi kepergiannya. Kaki gue ingin
bergerak mengejar, tapi otak gue memerintahkan gue untuk diam. Mulut gue ingin
minta dia untuk kembali, tapi harga diri gue bilang TIDAK! Gue menatap
foto-foto yang tergeletak di bawah kaki gue dan menendangnya penuh amarah.
Sejak saat itu Dea pun hilang dari kehidupan gue.
Saat itu gue mati-matian menekan perasaan gue supaya tetap cuek dan gak peduli.
“Terserah dia!” Maki gue berulang kali tiap Agni
mengingatkan gue untuk kembali pada Dea dan menjelaskan masalah sepele itu.
Bagaimanapun juga gue tersinggung sama sikap Dea. Dia dengan seenaknya menuduh
gue selingkuh, tanpa mau dengar penjelasan gue dulu. Padahal gue pergi nonton
sama Agni kan bukan berarti gue selingkuh.
Agni itu sahabat gue. Dia baru saja divonis kena
kanker payudara. Terang saja gue sebagai sahabat merasa prihatin. Waktu itu gue
ingin menghibur Agni, makanya gue mengajak dia nonton. Dan saat itu, Agni
tiba-tiba pusing, makanya gue tuntun dia biar gak jatuh. Sialnya, adegan itu
disaksikan Zahra, cewek cantik bermulut tajam kayak durian.
Zahra pun langsung beraksi manas-manasin Dea bak
provokator. Zahra yakin banget gue selingkuh. Dengan cerdasnya, Zahra sempat
mengambil beberapa foto gue dan Agni dengan HP berkamera miliknya. So, gue bisa
apa? Dea sudah cemburu buta waktu itu dan gak bisa mikir pake akal sehat lagi.
Terus terang, gue sebenarnya heran juga, apa yang dicekokin si Zahra ke Dea?
Kok Dea sampai menelan bulat-bulat berita itu?
Tapi sebagai cowok, saat itu harga diri gue juga
tinggi. Gue gak mau capek-capek ngejelasin semuanya dan minta maaf ke dia.
Ngapain gue ngejar-ngejar cewek yang gak percaya sama pacarnya sendiri? Silakan
pergi! Masih banyak cewek lain didunia ini.
Sampai suatu hari... Entah beberapa bulan kemudian
(yang bagi gue rasanya sudah berabad-abad), gue akhirnya ketemu Dea lagi. Dea
gak berubah. Dia tetap cantik, hidungnya tetap pesek, tahi lalat di sebelah
matanya juga gak berubah. Dan yang paling penting, dia tetap memberikan
desiran-desiran aneh di hati gue.
Tapi saat itu gue udah gak bisa ngobrol dan bilang
maaf lagi sama dia...karena Dea yang gue temui saat itu sudah terbujur kaku di
kotak jenazah. Dia meninggal dalam upayanya menggugurkan kandungan di tempat
praktik ilegal. Dea melakukan tindakan itu karena kekasih barunya yang brengsek
gak mau bertanggung jawab. Gue dengar, usia kandungan Dea saat itu sudah tiga
bulan.
SUMPAAH! Gue kalap waktu itu. Kalau gak di tahan,
mungkin gue sudah mengobrak-abrik rumah cowok itu. Gue gak puas kalau cowok itu
gak gue bikin babak belur dulu.
Dan saat itu gue baru sadar sebenarnya gue masih
sayang sama Dea. YA TUHAAAN!!! Bodoh banget gue!! Gue menyesal banget sudah
ninggalin Dea. Kalau dia masish cewek gue, Dea gak bakal ketemu bajingan itu,
mereka gak bakalan pacaran, mereka gak bakal ngelakuin hubungan terkutuk itu,
dan Dea gak bakal dipanggil Tuhan secepat itu.
Hhhh... Kenapa cowook dilahirkan dengan gengsi
selangit dan mereka akhirnya harus jatuh terpuruk karena mempertahankan
gengsi?!
“RIO!!!”
Semmua lamunan gue tentang Dea langsung buyar
mendengar teriakan bernada terkejut itu.
Gue menoleh. Dan seperti yang gue tebak, di
belakang gue, Bokap berdiri dengan mulut ternganga, pasti gak percaya lihat gue
datang ke sini.
“Wah! Kalau tahu kamu datang, pasti rapat tadi di
batalkan...,” ujar Bokap dengan yakinnya.
Gue cuma bisa mendengus pelan. Alasan! Gak mungkin
banget! Bisa-bisanya Bokap ngomong kayak gitu. Asal kalian tahu, buat Bokap,
gue tuh anak angkat. Sedangkan anak kandung Bokap yang sebenarnya adalah kantor
ini.
“Kamu sendirian, Yo?”
“Iya!” Jawab gue pendek.
“Teman kamu Dea gak ikut?”
FOR GOD'S SAKE!! Gue langsung melotot. Lihat!
Inilah bokap gue! Gak berusaha tahu secuil pun tentang gue. Dia bahkan gak tahu
gue dan Dea sudah putus dari zaman dulu kala, dia gak tau Dea sudah meninggal,
dan dia juga gak peduli setelah Dea ada Rahmi, Nova, Irva, Agni dan sederet
nama lain yang sempat bergelar sebagai cewek gue. Yah, sejak itu status gue
berubah. Dulu gue sampe disangka gay, tapi setelah semua orang tahu gue
playboy.
Bokap GAK TAHU soal itu semua! Dia gak tahu dan
gak mau tahu! Dan menurut gue, dia memang gak perlu tahu.
“Dea lagi pergi,” jawab gue asal. Tapi ada
benarnya, kan? Dea memang pergi. Pergi selama-lamanya ke surga sana.
“Ooohh,” jawab Bokap pendek.
Lagi-lagi gue mendengus. Gue tahu Bokap cuma
basa-basi nanyain Dea. Gue berani taruhan, kalau gue bilang Dea lagi main
layang-layang terus nyangkut di genteng pun, pasti Bokap juga cuma bakal bilang
“Oooh”.
Detik ini juga gue sadar gue salah banget datang
ke sini. Ngapain gue capek-capek menunggu dua jam demi makhluk gak berperasaan
di hadapan gue?! Gue memandang map yang gue pegang dengan kesal. Padahal gue
pengin nunjukin prestasi hebat ke Bokap. Gue pengin bikin dia bangga.
Lagi pula, memang sudah seharusnya Bokap bangga.
Gue lulus dalam waktu tiga setengah tahun dengan predikat cum laude dari
universitas negeri favorit. Setelah itu gue langsung diterima sebagai pegawai
di kantor akuntan yang termasuk the big five di Indonesia. Lalu dalam empat
tahun masa kerja, gue punya peluang besar diangkat jadi manajer. Dan sekarang
gue bikin satu prestasi lagi. Gue baru saja dapat kabar bahwa gue berhasil
mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S2 di salah satu universitas beken
di Amerika.
Makanya, dengan semangat '45 gue datang ke kantor
Bokap. Gue bahkan rela menunggu selama dua jam. Dan apa yang gue dapat? Seorang
ayah yang mungkin gak ingat berapa umur anaknya sekarang.
“Kita bicara di ruangan Papa saja ya. Sekalian ada
kerjaan yang harus Papa selesaikan,” ujar BIkap masih dengan cuek.
“Oke! Gak masalah!” Gue pun menjawab dengan sikap
tenang dan seprofesional mungkin. Kalau Bokap bisa cuek, gue bisa jauuuh lebih
cuek lagi sama dia. Dia anggap gue rekan kerja? Gue bakal anggap dia rival
kerja? Fair, kan?
KRIUUUK!!!
Bokap bengong mendengar bunyi itu.
Damn! Gue jelas panik. Ngapain juga perut gue
bunyi tiba-tiba dengan gak tahu malunya.
Bokap menatap gue dan nyengir lebar. “Ngobrolnya
kita pindah ke restoran seafood di sebelah kantor ini aja kalau begitu!”
Mau gak mau, gue ikutan nyengir juga. Yaaah...udah
terlanjur! Mau diapain lagi?! Setidaknya kali ini Bokap lebih mementingkan
perut gue daripada pekerjaannya itu. Gue senang, dia ternyata cukup ngerti gue.
Diam-diam, gue nyesel juga karena sudah nyalahin
Bokap macam-macam. Apa boleh buat, Bokap memang sibuk. Tapi dia sibuk dengan
kerjaannya, kan? Daripada dia sibuk selingkuh kayak bokapp teman gue, si
Irsyad. Dan satu lagi yang gak bisa gue pungkirin, semua yang Bokap lakukan
sekarang juga ada alasannya.
Lagi pula, gue juga kan yang menikmati hasilnya.
Kalau bukan karena Bokap, gue gak akan bisa liburan ke luar negeri dua kali
setahun dan gue gak mungkin ngelilingi Jakarta pake VW Beetle hitam gue
sekarang.
Bokap merangkul pundak gue dengan akrab, membuat
gue merasa kembali ke jaman dulu, seperti anak SD yang minta dibeliin es krim
sama Bokapnya. Yaaah...berapa pun umur gue sekarang, kalau bisa nyicipin kasih
sayang Bokap lagi, gue rela-rela aja kok balik jadi diri gue waktu kecil.
“Mama sedang apa dirumah?” Tanya Bokap pada gue.
Gue menghela nafas. “Mama pasti sedang kangen sama
Papa...”
----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar