Kamis, 05 April 2012

U! *CopasNovel* -Bab 5


---
 

Bab 5: Lidia Dan Alyssa. 

Aku menarik Papa masuk lift, meninggalkan LIdia dan Kak Rio terbengong-bengong di luar sana. 

“ADDDUU...DUUUH!!! Paaa...sakit dooong!” Aku menjerit ketika Papa dengan teganya menjewer kupingku. 

“Kamu apa-apaan sih, Fy? Malu, kan! Masa kamu menarik-narik Papa di depan umum kayak gitu! Kamu kan udah besar, Fy. Udah kelas dua SMA loh...” Protes Papa padaku. 

Ah, Papa! Kalau sudah kelas dua SMA kenapa aku dijewer seperti anak TK begini? “Lagian sih...” 

“Lagian apa?” Potong Papa. “Papa juga belum sempat ngomong sama Oom yang tadi ngobrol sama kamu itu...” 

Aku langsung mendelik. “Papa! Kok Oom sih? Itu namanya Kak Rio...,” ralatku cepat. Eeh! Kok aku sempat-sempatnya ngebelain cowok itu? Aku juga tadi memanggil dia Oom. 

“Yah...okelah! Kak Rio... Tapi dia ada perlu apa?” Tanyaa Papa lagi. 

“Mana Ify tahu! Katanya sih bukan lagi minta sumbangan. Tanya sendiri aja sana,” jawabku. 

Papa menghela napas, lalu menurunkan intonasi suaranya. “Gimana Papa bisa nanya kalau kamu narik-narik Papa kayak gitu tadi... Lagi pula...” 

“Lagi pula aapa?” Gantian aku yang sewot. “Lagi pula, Lidia manggil Papa, kan?” 

Gantian Papa yang mendelik sekarang. “Bukan Lidia! Dia Tante Lidia! Kamu harus sopan sama orang yang udah tua dong, Fy.” 

Aku otomatis pasang tampang supercemberut. Kok Papa malah belain si Lidia itu sih?! Bete! 

Papa melihat ke arahku, jelas banget dia tahu aku marah. Papa hendak mengelus kepalaku, tapi HP-nya berbunyi saat lift tiba di lantai dasar. Hasilnya, Papa mengangkat HP, kepalaku dicuekin. Aku makin bete! 

“Ooh...iya...iya! Maaf ya tadi...” Papa ngobrol di telepon, entah dengan siapa. 

“Iya, saya sama Ify mau makan. Ify kam mau makan apa?” Tanya Papa menatapku. 

“Makan batu!” Ujarku kesal. Makan apa? Biasanya Papa gak perlu tanya. Papa kan tahu aku suka banget makan seafood di restoran sebelaah kantornya itu. 

“Ooh...nggak! Gak pa-pa! Kami mau makan di restoran seafood sebbelah kantor ini. Oh, boleh! Kita bareng saja!” 

Papa menutup telepon, dia senyum-senyum menatapku. “Papa yakin, kepiting itu jauh lebih enak dari batu, Fy. Kita makan di restoran seafood aja ya?!” Ujarnya sambil merangkul lalu mengacak-acak rambutku. 

Aku mendongak, memasang tampang cemberut. Papa tersenyum sambil menjawil hidungku. Mau gak mau, akuu ikut tersenyum dan akhirnya memeluk lengan Papa. Kami berdua berjalan menuju restoran seafood kesayanganku. 

*** 

“Kepiting dua, udang rebus dua porsi, kerang darah dua porsi juga. Minumnya jus avokad dan air putih,” ujarku pede kepada pelayan restoran. Dia mengangguk-angguk, mencatat, lalu pergi meninggalkanku. 

Eh? Kok dia pergi? aku kan belum selesai. “MAS! MAS! TUNGGU!” Teriakku. Orang-orang di sekitar kami menengok semua. Papa memberiku kode supaya jangan berisisk. 

Pelayan itu kembali. “Kenapa, Mbak? Ada yang kurang?” Tanyanya ramah. Nah, satu lagi kelebihan restoran ini. Semua pelayannya ramah banget. Gak peduli aku cuma SMA. Soalnya yang dateng kan orang kantoran semua. 

“Ada yang kurang gimana?” Gerutuku. “Papa belom mesen, langsung ditinggal.” 

Pelayan itu menngerutkan dahi lalu meneliti menu ppesananku tadi. “Bukannya udah semua? Kepiting dua, udang rebus dan kerang juga dua. Minumnya jus avokad dan air putih, kan?” 

“Itu semua pesanan saya, Mas! Papa belom.” 

Pelayan itu kontan bengong. Orang-orang di sekitar kami ketawa cekikikan. Papa cengar-cengir di sampingku. “Maklum aja, Mas! Ify kelaperan.” 

Pelayan itu menggaruk-garuk kepala lalu kembali mengeluarkan pensilnya. “Bapak mau pesen apa?” 

“Sama seperti Ify,” ujar Papa. “Tambahkan kangkung cah buat sayurnya, trus minumnya jus ketimun dan air jeruk.” 

Pelayan itu membelalakkan mata gak cuma pelayan itu aja kok. Aku juga. 

“Papa mesennya kok banyak banget sih?” Tanyaku heran. Ini kayak bukan Papa aja. Papa juga doyan seafood sih, tapi gak segila aku. Dan Papa biasanya memesan ikan bakar, bukannya udang atau kepiting. Satu lagi yang membuat kebingunganku bertambbah, papa gak pernah memesan jus ketimun sebelumnya. 

“Papa juga ngundang orang lain makan bareng kita disini, Fy,” ujar Papa. 

Aku langsung lemas mendengar penjelasan Papa. Uuugh, Papa payah! Aku kan pengin berdua sama Papa saja hari ini. Aku bahkan belum sempat memamerkan nilai ulangan matematikaku. 

“Paa...kita berdua aja dong!” Pintaku dengan sangat memelas. 

“Jangan manja begitu dong, Ify. Papa kan sepenuhnya bareng-bareng sama kamu kalau udah nyampe di rumah!” Papa bebrusaha memberikan pengertian padaku. 

Hhhh... Aku menghela nafas jengkel. Memangnya kenapa? Masa aku gak boleh berduaan dengan papaku sendiri? 

“Hmmm...kamu manja banget sama papamu kayaknya? Mama kamu gak cemburu tuh?” 

DEG! Aku langsung terdiam. Kenapa justru kata-kata cowok itu yang terngiang-ngiang di kepalaku? Pertanyaannya yang belum sempat ku jawab itu. Pertanyaan tentang Mama yang sebenarnya gak ingin ku jawab. 

MAMA!!! Ya Mama!!! Dua belas tahun telah berlalu. Sejak saat itu aku kehilangan sosok untuk kupanggil Mama. 

Masih sangat jelas dalam ingatanku bagaimana wajah Papa saat aku bilang aku ingin beli pesawat untuk pergi mengunjungi Mama di surga... 

Dua belas tahun yang lalu... 

Papa menatapku dengan pandangan paling sedih yang pernah aku lihat. Aku tahu Papa hampir menangis. Aku langsung naik ke pangkuannya dan memeluk Papa. 

“Pa...Papa tenang aja! Aku gak pergi sendirian. Papa pasti kuajak! Kita bareng-bareng ke sana ya, Pa...” 

Papa langsung memelukku erat. Perlahan kurasakan cairan hangat menyentuh pundakku. Papa menangis. 

Sayangnya, saat itu aku terlalu polos dan bodoh untuk mengetahui kenapa Papa menangis. Dan karena gak mau capek-capek mikir, aku ikutan nangis juga. 

Akhirnya Papa sibuk menenangkanku, dan kami pergi ke bank keesokan harinya untuk menabungkan uangku. (Aku ingat banget bagaimana tampang melongo teller bank itu) dan sepulang dari bank, Papa mengajakku makan es krim di Swensens. 

Dengan berlalunya waktu, sedikit demi sedikir aku mulai memahami arti kepergian Mama ke surga. Aku sada, naik pesawat ke luar angkasa sekalipun aku gak bakal bisa menemui Mama lagi. Kecuali kalau Pesawat yang kunaiki itu meledak. Aku juga mengerti apa arti di pusara Mama. Ya, Mama meninggal karena kanker rahim yang dideritanya. Mama pergi meninggalkan aku dan papa untuk selama-lamanya. Dia pergi dalam tidur tenangnya. Dan melalu penjelasan guru Sekolahku, aku tahu Mama sekarang duduk bersama-sama Tuhan di surga sana. 

Namu butuh waktu lebih lama lagi untuk menyembuhkan luka di hatiku. Bagaimana aku harus berulang kali menahan rasa iti melihat teman-temanku selalu diantar-jemput mamanya ke sekolah. Bagaimana aku harus ditarik Papa ketika aku juga ingin dielus rambutnya oleh wanita yang sedang mengelus rambut anaknya dengan penuh kasih sayang didepan mataku. Bagaimana aku dengan ganas langsung menerjang teman sekelasku, Malikha, karena dia dengan sombongnya memamerkan bekal buatan mamanya di hadapanku. 

Hmmm...aku paling ingat yang terkahir. Aku ingat mencakar Malikha dengan sepenuh hati. Hasilnya, Malikha menangis meraung-raung dan Bu Guru dengan senang hati langsung menghukumku. Ia memberiku tugas superkejam. Aku harus menilis, AKU GAK AKAN BERTENGKAR LAGI DENGAN TEMANKU sebanyak dua puluh lembar bolak-balik di buku menulis halis. 

Aku mengerjakan tugas itu sambil menangis di rumah. Papa sibuk menghiburku dan bilang, “Bu Guru gak bermaksud jahat, Sayang...” 

Dalam sedu sedanku, aku memeluk Papa. “Malikha bukan temanku! Aku gak mau disuruh berjanji sebanyak ini...” 


“Fy...” 

Aku tersentak. Tangan Papa dengan lembut mengelus kepalaku. 

Aku tersadar dari lamunan dan menatap Papa. Papa juga menatapku dengan wajah penuh kesabarannya itu. 

Aku mengehela napas. Harus kuakui kata-kata Papa ada benarnya. Aku selalu memonopoli Papa selama ini. 

“Maaf ya, Pa!” Ujarku lirih. 

Papa tersenyum menatapku. “Maaf apa nih? Kok tiba-tiba? Jangan-jangan nilai ulangan matematika kamu dapat jelek, ya?” 

Heh! Ulangan Matematika?! Aku langsung mendelik senang menatap Papa. Inilah saatnya! Aku langsung merogoh isi tasku dan mengeluarka selembar kertas. Kusodorkan kertas itu tepat dihadapan muka Papa, supaya Papa bisa melihat angka 100 itu dengan sejelas-jelasnya. 

Aku menurunkan kertas itu dan kulihat Papa tersenyum lebar. “Kamu mau minta apa?” Tanya Papa langsung tanpa basa-basi. 

YEESS!!!! Ini dia yang aku tunggu-tunggu. Kesempatan itu datang!! Dan saat aku hendak menjawab, datanglah seseorang ke meja kami... 

“Maaf terlambat!” 

Saat itu juga, hilanglah semua mood baikku hari ini. Lenyap jugalah semua kata-kata di mulutku. Dan yang paling parah, nafsu makanku juga langsung ikut lenyap entah ke mana. 

“Halo, Ify...,” ujar orang itu ramah. 

Demi sopan santun, aku memaksakan senyuman. Padahal aku ingin sekali melemparkan kaus olahragaku ke mukanya. 

“Wah, kebetulan Lidia dateng,” ujar Papa dengan senyum terkembang. 

Lidia duduk disebelahku dan dengan sok manis mengajakku ngobrol, dia juga memuji nilai ulangan matematika-ku (“Wah, kamu bisa nyaingin Einstein ntar!”) 

Aku cuma bisa nyengir bego mendengar komentar jayusnya. Apa dia gak sadar aku bete berat? Huh!! Ngapain juga dia ikutan duduk di sini?! 

Saat makanan datang, aku sudah benar-benar gak nafsu makan lagi. Kepiting saus tiram di hadapanku tiba-tiba berubah jadi kayak batu. Hhh... Daripada duduk di sini sama Lidia mendingan aku makan batu beneran! 

“Ify...kamu mau cemberut sampai kapan? Kok kepitingnya didiemin? Kamu kan doyan banget kepiting?” Tanya Papa lembut padaku. 

Aku melengos dan tetap cemberut. Gak mau tahu! Kali ini aku benar-benar mengibarkan bendera perang sama Papa. 

“Saya mau permisi ke toilet dulu yaa...” Lidia bangkir dengan sopan lalu melenggang menjauh. 

“Ify!” Papa memanggilku. 

Aku mendongak, Papa menatapku dengan pandangan bingung. “Kamu kenapa sih, Fy?” 

“Ify gak suka ada Lidia!” Ujarku cepat. 

“Dia kan cuma ikut makan dengan kita...kenapa sih? Lagi pula, dia baik banget sama kamu kok...“ 

Aku hanya diam. Itulah Papa! Suka bego! Bayangin, Papa jadi baik banget sama Lidia gara-gara Lidia baik sama aku. Yaaah...jelas aja dia baik sama aku, dia kan mau mengambil hati Papa lewat aku. Maaf saja! Aku gak bakal tertipu! 

Seperempat jam berlalu... 

Cacing-cacing di perutku sudah berteriak dengan suara bulat “LAPAAAR!!!” Oke, aku ralat kata-kataku tadi. Tadi aku bilang nafsu makanku hilang karena lihat Lidia. Tapi karena lihat Papa makan dengan lahapnya, otomatis selera makanku kembali dengan sukses. Namun demi gengsi dan kehormatanku, aku menahan diri untuk gak menyentuh kepitingku. 

Lidia kembali dari kamar mandi. Samar, tercium bau parfumnya yang enak dan lembut. Hmmm...pasti dia tadi menyemprotkan parfum banyak-banyak di kamar mandi. Genit banget! 

“Maaf ya lama,” ujar Lidia sopan. Dia memang selalu sopan. 

“Oohh, gak pa-pa... Pasti tadi Tante Lidia bingung, mau nyemprotin parfumnya sepuluh atau dua puluh kali kan?” Sindirku kejam. 

Papa langsung memelototi aku. Aku sok cuek. 

Herannya, Lidia justru terbelalak lalu tertawa. “Kok kamu tahu? Kamu lihat ya tadi?” 

Aku bengong. Ajaib! Di mengakuinya! 

Lidia langsung bicara lagi. “Tadi ada orang yang muntah di kamar mandid, Pak! Waaah, suasana langsung kacau! Mungkin orang itu kebanyakkan makan kepiting atau apalah. Nah, otomatis jadi agak bau amis. Cleaning service udah ngelap muntahnya, tapi samar-samar masih kecium. Kasihan kan orang yang datang ke toilet, mereka jadi males masuk. Ya udah, saya semprotkan parfum aja ke sekeliling ruangan. Orang yang muntah juga saya semprot, soalnya bajunya kan juga kena sedikit tadi. Kasian kalau sampai teman duduknya meremehkan dia.” 

OOHHHH!!! Aku terbelalak! Alangkah mulianya Lidia! Menyemprotkan parfum Elizabeth Arden di sekeliling ruangan kamar mandi?! Ck... Ck...ck... Alasan macam apa itu?v bohong banget! Pintar juga dia mengarang alasan sepanjang itu. Bisa nangis si Elizabeth Arden kalau tahu parfumnya disemprotin kayak nyemprot obat nyamuk. 

Namun efek samping kata-kata Lidia ternyata cukup hebat, Papa langsung menatap Lidia dengan pandangan penuh kekaguman. 

“Kamu baik sekali,” puji Papa. Aku mendengus pelan. 

“Aku mau ke toilet...,” ujarku cepat sambil bangkit dari kursi. Aku ingin membuktikan kata-kata Lidia tadi. Dia mungkin bisa bohongin Papa, tapi jangan coba-coba bohongin aku. 

Sialnya, aku bergerak terlalu cepat dan... 

GUBRAAAK! Aku bertambrakan dengan seseorang yang sedang melangkah melintasi meja kami. Aku terjatuh! 

Sialan! Gak tahu aku lagi buru-buru? 

Aku mendongak dan langsung menyemburkan makian. Dan...aku benar-benar gak mempercayai pengelihatanku. 

Cowok sinis berkacamata tadi...alias KAK RIO... 

---- 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar